Kebebasan Wanita Dalam Masyarakat Islam

Prinsip-prinsip kesetaraan dalam Islam diejawantahkan pada masyarakat Islam pertama, disana kita akan melihat bahwa Wanita mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat baik dalam segi ibadah ubudiyah, maupun ibadah muamalah.





A. Wanita dan kedudukannnya dalam perkawinan



Pada masa pra Islamkita akan melihat beragai macam praktik diskriminasi terhadap kaum wanita seperti nikah mut’ah (yaitu pernikahan yang bersifat sementara, sesuai dengan perjanjian, setelah masa kontrak selesai maka selesailah pernikahan itu, tidak ada batasan yang jelas terhadap tanggungjawab pria, sehingga biasanya wanita akhirnya harus menanggung beban tanggungjawab terhadapanak-anak yang dilahirkan didalam pernikahan tersebut tanpa nafkah dari mantan suaminya) , praktek pewarisan seorang istri, hak seorang bapak untuk menikahkan anaknya tanpa meminta persetujuan mereka, serta hak waris yang terbatas (ada dua jenis tipe dalam masyarakat jahiliah, yaitu terkadang wanita sama seali tidak boleh mewarisi, tetapi ada juga yang memiliki hak untuk mewarisi, centohnya pada masyarakat mekkah, akan tetapi hak warisnya tetap ditentukan oleh komunitas lelaki didalam sukunya), bahkan pihak mantan suami berhak menentukan ahkan menghalangi pernikahan mantan istrinya dengan orang lain. Inilah praktek praktek diskriminasi didalam pernikahan masyarakat jahiliah yang ketika Islam mulai meramah masyarakat arab terdapat pembaharuan terhadap paktek-praktek ini sehingga menghapus semua bentuk pelecehan dan mengembalikan wanita pada hak-haknya semula.





Hak-hak wanita dalam memasuki dunia pernikahan



Ketika memasuki dunia pernikahan berbeda dengan tradisi masyarakat jahiliah yang memandang bahwa wanita hanya sebagai barang yang tidak memilik hak untuk memilih, maka Islam datang untuk menggantikan prinsip tersebut sebagaimana tertera dalam sebuah hadits:



Dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw bersabda, “Janda tidak dinikahkan sehingga dimintai pendapatnya dan gadis tidak dinikahkan sehingga diminta izinnya”. Sahabat bertanya “wahai rasulullah bagaimana izinnya?”. Nabi bersabda, “Jika ia diam”. (HR Jamaa’ah)



Dari Khansa inti khidam berkata Sesungguhnya ayahku telah menikahakan aku dengan keponakannya, sedangkan aku tidak menyukainya. Lalu aku melaporkan hal ituepada asulullah saw dan beliau berkata, “Perkenankanlahapa yang dilakukan ayahmu!”. Lalu akupun erkata, “Tetapi aku samasekali tidak berkenan dengan apa yang dilakukan ayahku”. Lalu Rasulullah bersabda,”Pulanglah, dan ia tidak berhak menikahkan, menikahlahdengan laki-laki yang engkau kehendaki!”. Kemudian aku berkata, “dan akhirnya akupun menerima apa yang dperbuat ayahku, tetapi aku ingin supaya semua mengetahui bahwasanya tiada hak bagi orangtua untuk memaksakan pernikahan putrinya.” (HR. Bukhari)



Tidak hanya itu Islam juga memberikan hak kepada wanita untuk menawarkan diri kepada lelaki yang dia sukai, jadi wanita tidak hanya bersikap pasif dalam menentukan calon suaminya akan tetapi dia juga mempunyai hak untuk aktif mencari pendamping hidupnya.



Tsabit al-Bannani berkata: "Pada suatu hari aku duduk di dekat Anas. Di sampingnya ada putrinya. Lalu Anas berkata: 'Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. untuk menawarkan dirinya kepada beliau. Wanita itu berkata "Wahai Rasulullah, apakah engkau berminat padaku?" Lalu putri Anas menimpali: "Alangkah sedikitnya rasa malu perempuan itu. Betul-betul buruk, betul-betul buruk." Anas berkata: "Dia lebih baik daripadamu. Dia senang kepada Nabi saw., lalu dia menawarkan dirinya kepada beliau."" (HR Bukhari)



Islam mulai memperkenalkan hak-hak kaum wanita kepada masyarakat jahiliah arab dengan mulai mengembalikannya hak-hak waita didalam menentukan masa depannya, sehingga persetujuan wanita didalam pernikahan adalah satu keniscayaan, apabila pernikahan tersebut wanita tidak diminta persetujuannya maka ia boleh meminta perceraian terhadap suaminya.



Dari Ibnu , “Suami barirah adalah seorang budak bernama mugiths, seakan-akan aku melihatnya dibelakangnya (barirah) sambil menangis dan air matanya menetes sehingga sampai kejenggotnya. Lalu Nabi saw berkata kepada Ibnu Abbas, “Wahai Abbas tidakah engkau kagum kepada cinta mughits kepada Barirah dan kebencian Barirah kepada Mughits?”. Selanjutnya Nabi berkata,” Seandainya engkau mau kembali kepadanya, sesungguhnya dia itu adalah suami dan bapak dari anak-anakmu”. Lalu Barirah berkata, “Apakah engkaumemerintahkan aku, wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Aku sekedar menawarkan kepadamu”. Barirah berucap, “Aku tidak membutuhkannya.” (HR. Bukhari)



Selain hak ikut dalam menentukan calon suami wanita juga mempunyai hak untuk menerima mas kawin, hal ini berbeda dengan kondisi masyarakat jahiliah ketika menikah mahar adalah hak bagi ayahnya sebagai bentuk jual beli dengan calon suami dari anaknya, ini dikarenakan dalam pandangan masyarakat jahiliah wanita tidak dalam posisi merdeka.



Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (An-Nisa:4)



Tidak hanya itu Islam kemudian mengukuhkan pernikahan tidak hanya dari pihak suami akan tetapi wanita juga berhak mengajukan saksi didalam pernikahan hal ini sebagai bukti keadilan yang mencerminkan kekuatan hukum yang seimbang didalam pernikahan.

Kemudian Pernikahan harusdilaksanakan hitam diatas putih, seorang istri berhak meminta syarat terhadap calon suami sebelum akad dilakukan.



“Paling hak syarat yang harus kamu penuhi adalah syarat yang dapat menghalalkan kemaluan terhadapmu.” (HR. Bukhari-Muslim)



Didalam Islam pernikahan adalah sesuatu yang seharusnya abadi maka untuk itu Islam juga melarang bentuk-bentuk nikah mut’ah yang pada masa pra bahkan awal-awal Islam diperbolehkan karena hal itu akan merugikan pihak istri.





Wanita dan hak didalam keluarga



Didalam menjalankan kehidupannya didalam rumahtangga maka seorang istri mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan oleh suami mereka, berbeda dengan masyarakat jahiliah yang menempatkan lelaki seagai kekuatan dominan didalam keluarga maka Islam memandang didalam keluarga wanita dan priamempunyai hak yang sama satu dengan yang lainnya.



“ Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf”. (Al-Baqarah:228)



Wanita juga mempunyai hak memperoleh perlakuan yang baik dari suami mereka



“Dan pergauilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang baik” (an-nisa:19)



Wanita juga berhak mendapat perhatian suami, suami harus menunjukkan sikap dan prilaku yang membuat istri bahagia atau senang



“Banyak wanita yang mengunjungi keluarga Muhammad, dan mengeluhkan tentang suami mereka, sesungguhnya mereka bukanlah yang terbaik diantara kalian” (HR. Abu Dawud)



“Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya dan yang paling lemah lembut terhadap keluarganya” (HR. Tirmidzi)



Wanita juga berhak dimintai pendapat oleh suaminya, dan berhak mengajukan pendapat yang berlainan dengan suami didalam suatu permasalahan.



Bermusyawarahlah dengan kaum wanita dalam masalah (perkawinan) putri-putri mereka (HR. Ahmad)



Bahkan mereka diperbolehkan berargumen dengan suami dalam suatu masalah.



Umar ibnul Khattab berkata: "Demi Allah, pada zaman jahiliah kami menganggap wanita sesuatu yang tidak berarti sama sekali sampai turun ayat Allah mengenai wanita dan memberinya bagian khusus. Tetapi pada suatu hari, ketika aku sedang berintrospeksi, tiba-tiba istriku berkata kepadaku: 'Cobalah kamu lakukan begini dan begini.'Aku lalu bertanya kepadanya dengan nada heran: 'Mengapa kamu menghalangi apa yang aku kehendaki?' Istriku berkata: 'Heran aku terhadap kamu ini, wahai ibnul Khattab. Kamu tidak mau dikoreksi, sedangkan putrimu (Hafshah) telah membuat ulah kepada Rasulullah saw. sehingga sehari penuh beliau murung.'" (HR Bukhari dan Muslim)



Bagian terbesar dari hak perempua terhadap suami mereka adalah istri-istri mereka berhak diberikan nafkah dari suami mereka



“Kalian berkewajian untuk memberi makan dan pakaian( istri-istri) dengan cara yang ma’ruf” (HR Ahmad dan abu Dawud)







Hak Wanita Dalam Perceraian



Tidak seperti masyarakat jahiliah yang tidak memberikan hak meminta cerai terhadap suami Islam memberikan hak perceraian bagi istri. Hal ini disebut khulu, dimana istri meminta cerai dan memberi ganti rugi, hal ini dilakukan karena istri meminta cerai karena ia membenci suaminya, akan tetapi suami tidakberlaku dzalim terhadapdirinya.



Istri Tsabit bin Qais menemui Rasulullah saw dan berkata “ Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais adalah seorang yang baik akhlak dan agamanya, tetapi aku khawatir jika disisinya bisa berbuatkekufuran.” Maka Rasulullah saw bersabda, apakah engkau hendak mengembalikan kebunnya-yang menjadi mahar adalah kebun- jamilah berkata, “Benar, Ya Rasulullah!” Lalu Rasulullah mengutus seseorang kepada tsabit untuk menyampaikan pesannya, “Terimalah kebunmu dan ceraikan dia.” (HR. Bukhari)



Wanita mempunyai hak yang sama dengan suaminya apabila terjadi permasalahan didalam keluarga dengan sama-sama mengirimkan wakil untuk merundingkan apakah pernikahan bisa disatukan kembali atau dipisahkan dalam perceraian



“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” ( An-Nisa’:35 )



Selain itu Wanita juga berhak meminta cerai apabila suaminya berbuat zalim terhadap dirinya.



“ Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” ( Al Baqarah:231)



“Jika seorang wanita teraniaya karena perkawinan, maka putuskanlah tali perkawinan tersebut.” (HR. Bukhari)



Bila suami yang menceraikan istrinya, atau pihak suami melakukan nusyuz dan berbuat zalim atas istrinya yang menyebabkan mereka bercerai maka sang istri tidak boleh dikurangi haknya sedikitpun atas mahar yang diperolehnya, bahkan mereka mendapat mut’ah atau harta dari suaminya.



“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (Al Baqarah : 241)



Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. ( Al Baqarah:229)



Dalam mengasuh anak wanita mempunyai hak yang lebih besar daripada suami mereka.



Dari Ibnu Abbas Umar bin Khattab pernah menceraikan istrinya dari kaum anshar, yaitu ibu dari anaknya yang bernama Ashim, Kemudian Umar bertemu dengan istri yang telah dicerainya itu di Mushar. Sedangkan anaknya telah berhenti dari menyusu dan telah bisa belajar. Kemudia Umar memegang lengan anak itu untuk melepaskannya dari tangan ibunya. Namun sang ibu tidak melepaskannya, sehingga anak itu merasa sakit dan menangis. Kemudian Umar berkata, “Aku adalah orang yang paling berhak terhadap anak inidaripada kamu.” Kemudian merekamelaporkannya kepada Abu Bakar, Kemudian Abu akar memeri keputusan terhadap masalah tersebut. Abu Bakar berkata “Harum ibunya, tempat tidurnya dan kasih sayangnya adalah lebih baik terhadapanak ini daripada kamu,sehingga anak ini menjadi seorang pemuda dan dapat memilih dengan sendirinya ( Diriwayatkan Abdurrazaq )



Yang perlu diingat adalah walaupun si anak berpisah dari ayahnya namun sang anak tetap harus diberi nafkah yang cukup dari sang ayah, karena anak tetap tanggungjawab ayahnya dan tetap memperoleh hak waris dari ayahnya tersebut.



Abdullah bin Umar ibnul Ash bercerita bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya: "Dan bahwa sesungguhnya anakmu mempunyai hak atasmu." (HR Muslim)







B. Wanita dan Hak Sosial didalam Masyarakat



Dalam masyarakat Islam wanita mempunyai hak yang sama dalam kehidupannya didalam masyarakat, baik itu hak beribadah, menuntut ilmu, dan sebagainya. Wanita sebagaimana laki-laki adalah salah satu unsur yang memberikan kontribusi dalam membangun ummat Islam, sebagai bagian dari komunitas ummat maka ia memiliki potensi dan karakteristik yang merupakan bagian integral dari ummat itu sendiri.



Wanita dan Laki-laki diberi beban tanggungjawab yang sama dalam membangun dan saling bersinergi dalam menjalankan amanah sebagai khalifatullah.



Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(At –Taubah:71)





Wanita Dan Tradisi Menuntut Ilmu



Wanita dan laki-laki mempunyai kewajiban dalam menuntut ilmu, hal ini dikatakan kewajiban bukan hak dikarenakan laki-laki dan perempuan juga memiliki kewajiban didalam masyarakatnya.



“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)



Dalam hadits-hadits kita akan melihat banyaknya wanita yang bertanya secara langsung terhadap Rasulullah saw, baik itu masalah janabat, mimpi, mandi besar, haid, istihadah, dan yang lainnya. Imam muslim misalnya pernah meriwayatkan hadits dari Amir bin Surahil, bahwa ia bertanya tentang sebuah hadits terhadap Fatimah binti Qais, kemudian dia meriwayatkan hadits yang panjang tentang Dajjal yang ia dengar setelah menunaikan shalat berjamaah. Artinya para wanita bersama pria ikut menimba ilmu dimasjid Rasulullah bersama kaum wanita selesai sholat berjamaah

Ibnu Juraij, dari Atha dan dari Jabir bin Abdullah, berkata: "Nabi saw. berdiri pada hari raya Fitri, lalu shalat. Dimulai dengan shalat, setelah itu baru khotbah. Selesai berkhotbah beliau turun, kemudian mendatangi jamaah wanita. Sambil bersandar pada tangan Bilal, beliau menyampaikan nasihat kepada kaum wanita. Sementara Bilal menggelar/membentangkan kainnya, lantas kaum wanita menjatuhkan sedekah mereka ke atas kain tersebut. Menurut satu riwayat11 dari Ibnu Abbas, beliau (Nabi saw.) merasa belum memperdengarkan kepada kaum wanita (nasihat yang beliau sampaikan), maka beliau pergi kepada kaum wanita untuk memberi mereka nasihat dan menyuruh mereka bersedekah. Ibnu Juraij berkata: "Apakah seorang imam (pada masa sekarang ini) berhak melakukan yang demikian itu dalam memberikan peringatan kepada kaum wanita?" Atha berkata: "Hal itu adalah hak mereka. Jadi mengapa mereka tidak boleh melakukannya?" (HR Bukhari)



Seakan tidak pernah cukup dengan ilmu yang mereka dapatkan para wanita meminta hari khusus agar Rasulullah memberikan majelis ilmu kepada mereka.



Seorang perempuandatang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, kaum lelaki telah mendapatkan berbagai ilmu darimu. Sudikah engkau menyisihkan satu hari untuk kami? Dihari itu kami akan datang kepadamu agar engkau mengajari kami tentang apa yang Allah SWT ajarkan kepadamu.” Rasulullah saw mejawab, “Tentukan haridan tempatnya. Akuakan datang memenuhi permintaan kalian. Setelah itu, kaum perempuan tersebut berkumpul pada hari dan tempat yang telah ditentukan. Rasulullah saw datang dan mengajari mereka tentang apa yang telah diajarkan Allah swt kepadanya (HR. Bukhari)



Tidak hanya itu dalam beberapa hadits kita akan banyakmenemui para wanita juga datang sendiri kepada Rasulullah untukmenanyakan suatu persoalan, hal ini memperlihatkan tidak adanya sekat untuk membatasi wanita dalam menimba ilmu.



Aisyah r.a. berkata bahwa Asma binti Syakl bertanya kepada Nabi saw. mengenai mandi sehabis haid. Beliau bersabda: "Salah seorang di antara kamu hendaklah mengambil air dan kapas atau secarik kain, lalu bersuci dan membaguskan penyuciannya Kemudian tuangkanlah air ke kepala dan gosoklah dengan keras sampai ke pangkal rambut. Selanjutnya siramkanlah air ke badanmu dan ambillah kapas yang sudah diberi misk/minyak wangi, lalu pergunakanlah untuk bersuci dengannya!" Asma bertanya: "Bagaimana cara bersuci dengan kapas itu?" Nabi saw. menjawab: "Subhanallah, kamu pakai kapas itu untuk bersuci." Kemudian Aisyah berkata dengan suara yang agak dipelankan: "Kamu pergunakan kapas itu untuk menyeka bekas darah." Asma bertanya lagi tentang mandi jinabah/junub. Beliau menjawab: "Ambillah air, lalu bersucilah dengan baik atau sebaik mungkin. Kemudian tuangkanlah air ke kepala dan gosoklah sampai ke pangkal rambut. Kemudian siramkan air ke badan." Aisyah berkata: "Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Mereka tidak terhalang oleh rasa malu dalam mendalami masalah agama." (HR Muslim)



Subai'ah binti al-Harits al-Aslamiyyah mengatakan bahwa dia ketika itu masih di bawah tanggungan (istri) Sa'ad bin Khaulah yang berasal dari Bani Amir bil Lu'ay. Dia termasuk salah seorang yang ikut pada Perang Badar. Kemudian dia wafat pada waktu haji Wada', sementara Subai'ah ketika itu sedang hamil. Tidak lama kemudian dia melahirkan. Tatkala masa nifasnya sudah berhenti, dia mulai berdandan untuk orang-orang yang berminat meminangnya. Lalu datang menemuinya Abul Basnabil bin Ba'kak --seorang laki-laki dari Bani Abdid Daar-- yang berkata kepada Subai'ah: "Mengapa aku melihatmu sudah mulai berdandan untuk para peminang? Apakah kamu sudah ingin kawin? Demi Allah, kamu sebenarnya belum boleh kawin sampai kamu melewati empat bulan sepuluh hari." Subai'ah berkata: "Setelah berkata demikian kepadaku, maka aku segera mengumpulkan pakaianku pada sore harinya, lalu aku pergi menemui Rasulullah saw. untuk menanyakan masalah tersebut kepada beliau. Lalu beliau memberiku fatwa bahwa aku sudah boleh kawin karena aku sudah melahirkan kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin jika aku telah menemukan jodoh yang cocok bagiku." (HR Bukhari dan Muslim)





Wanita Dalam Ibadah



"Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” ( Al-Imran:195 )



Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.( An-Nisa’:124)



Ayat diatas mempertegas tidak adanya perbedaan dalam beribadah antara wanita dan laki-laki. Wanita juga bersedekah, shalat dan melaksanakan kewajian ibadah ubudiyahnya tanpa dikurangi sedikitpun nilainya disisi Allah.



Didalam masyarakat Islam awal, wanita juga mempunyai hak yang sama dalam ibadah yang dilakukan secara berjamaah, seperti sholat berjamaah bahkan di masjid nabawi ada sebuah pintu yang disebut “pintu wanita” , artinya dizaman nabi kita dapat melihat wanita sebagaimana pria ikut melaksanakan sholat berjamaah, padahal disaat itu tidak ada mihrab yang menyekat antara keberadaan kaum laki-laki dan wanita.



“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang wanita untuk shalat di dalam masjid Alah.” (HR. Muslim)



Ibnu Umar berkata: "Adalah istri Umar ibnul Khattab senantiasa mengikuti shalat subuh dan isya secara berjamaah di masjid. Salah seorang sahabat bertanya kepadanya: 'Mengapa kamu keluar juga padahal kamu tahu bahwa Umar tidak suka hal itu dan dia akan merasa cemburu?' Istri Umar menjawab: 'Lalu apa yang menghalangi Umar sehingga dia tidak mau melarangku?' Sahabat itu menjawab: 'Yang menghalangi Umar sehingga dia tidak berani melarangmu adalah sabda Nabi saw. yang berbunyi: 'Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah untuk mendatangi masjid-masjid Allah.'" (HR Bukhari)



Fathimah binti Qais, dia berkata: "Muadzin mengumandangkan seruan ash-shalatu jami'ah (kalimat ini disamping untuk memanggil orang untuk shalat, juga digunakan untuk memanggil orang-orang supaya berkumpul). Aku pun ikut berangkat bersama orang-orang lain. Ketika itu aku berada pada barisan terdepan dari kaum wanita, yaitu persis setelah barisan terakhir dari kaum laki-laki." (HR Muslim)



Wanita juga melaksanakan Shalat jum’at, hal ini juga dilakukan sebagian muslimah di sebagian eropa walaupun dingeri-negeri Islam budaya ini seakan-akan telah lenyap. Walaupun wanita berbeda dengan pria yang diberi kewajiban untuk shalat dimasjid, hal ini dikarenakan wanita mempunyai tanggung jawab lain terhadap anak-anaknya yang mungkin tidak bisa dibawa kemasjid, oleh karenanya perkara ini adalah kemudahan bagi wanita bukan merupakan bentuk diskriminasi.



Disamping Shalat berjamaah Rasul juga menyuruh wanita untuk hadir didalam dua hari raya umat Islam guna melaksanakan shalat id bahkan sekedar hadir untuk memperoleh berkah dihari itu bagi wanita yang mengalami halangan sperti haid dan nifas.



Ummu Atiyah berkata, “Kita dahulu keluar diperintahkan keluar pada dua hari raya, juga perempuan yang dipingit dan yang masih gadis.” (HR. Imam Muslim)



Bahkan untuk ibadah i'tikaf wanita disunahkan untuk mengikutinya



Aisyah r.a., istri Nabi saw., berkata bahwa Nabi saw. melakukan i'tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau dipanggil oleh Allah SWT. Kemudian para istri beliau tetap melakukan i'tikaf sepeninggal beliau. (HR Bukhari)







Kedudukan yang Sama Dimuka Hukum



Didalam hubungannya dengan laki-laki wanita mempunyai hak yang sama keadaannya didalam hukum, seorang suami ahkan tidak berhak menuduh istri berzinah jika tidak membawa empat orang saksi.



Hadis dari Ibnu Umar r.a: Diriwayatkan oleh Said bin Jubair r.a katanya: Aku pernah ditanya mengenai kes dua orang yang dili'an pada masa Mus'ab. Adakah keduanya harus dipisahkan? Oleh kerana tidak dapat menjawabnya, aku pergi ke kediaman Ibnu Umar di Mekah. Setelah sampai, aku meminta izin dari pelayan supaya membenarkan aku masuk menemui Ibnu Umar. Pelayan itu memberitahu kepadaku bahawa dia sedang tidur. Rupa-rupanya, Ibnu Umar mendengar suaraku lalu bertanya: Siapakah itu? Ibnu Jubairkah? Aku menjawab: Benar! Dia berkata: Masuklah! Demi Allah, pasti ada sesuatu hajat penting sehingga kamu datang menemui aku di waktu begini. Aku pun masuk dan mendapati dia berbaring di atas kain pelana dan bersandar pada sebuah bantal yang berisi sabut kurma. Aku memulakan kata-kata: Wahai Abu Abdul Rahman! Adakah harus dipisahkan suami isteri yang bersumpah li'an? Ibnu Umar menjawab: Maha Suci Allah. Memang begitulah dan sesungguhnya orang pertama yang pernah menanyakan hal itu adalah Si Polan bin Polan, dia bertanya Rasulullah s.a.w: Wahai Rasulullah! Apa pendapat kamu jika salah seorang daripada kami mendapati isterinya melakukan suatu perbuatan keji dan menjijikkan. Apa yang patut dilakukan? Jika suami itu membicarakannya, bermakna dia telah bertanggungjawab di atas suatu perkara yang sungguh besar. Begitu juga kiranya dia mendiamkan diri. Apabila ditanya begitu, Nabi s.a.w hanya diam saja dan tidak menjawabnya. Setelah beberapa ketika, Si Polan bin Polan itu datang lagi kepada Rasulullah dan berkata: Sebenarnya perkara yang saya ajukan kepada anda ini, berlaku ke atas diri saya. Maka Allah s.w.t menurunkan FirmanNya yang terdapat dalam surah An-Nur: Bermaksud: Orang-orang yang menuduh isterinya berzina tanpa bersaksi. Maka mereka dituntut supaya bersumpah empat kali berturut-turut bahawa dia benar-benar mengetahui mengenainya. Baginda membacakan Firman Allah tersebut dengan lengkap serta menasihati dan mengingatkan bahawa sesungguhnya siksa dunia itu tidaklah setanding dengan siksaan di akhirat. Namun Si Polan bin Polan itu tetap berkeras: Tidak! Demi Allah yang mengutuskanmu, aku tidak berdusta mengenai isteriku. Akhirnya Rasulullah s.a.w memanggil isteri Polan bin Polan tersebut. Baginda juga menasihatkan wanita itu dan mengingatkan bahawa siksaan di dunia ini tidak seberapa berbanding dengan siksa di akhirat. Namun sebagaimana suaminya juga, wanita itu tetap dengan pendiriannya dan berkata: Demi Tuhan yang mengutusmu! Sesungguhnya dialah yang berdusta. Rasulullah s.a.w memulai dengan pihak suami. Lalu dia pun bersumpah empat kali bahawa sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang benar, sedangkan pada sumpah yang kelima menyatakan, bahawa laknat Allah atasnya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Kemudian baginda meneruskan pula sebelah pihak isteri. Dia juga berani bersumpah empat kali bahawa sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dan sumpah yang kelima menyatakan, bahawa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Kemudian setelah itu Rasulullah s.a.w memisahkan antara keduanya (HR. Bukhari)



Wanita dan laki-laki mendapat hukuman yang sama bila melakukan perbuatan dosa



Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (An-Nur:2)



Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (al-Ma'idah: 38)



Para wanita juga berhak mengajukan gugatan terhadap ketidak adilan yang menimpa diri mereka kepada penguasa atau hakim yang ditunjuk penguasa. Hal ini dicontohkan oleh khaulah binti tsa’labah ketika suaminya memaki dirinya dengan ucapan punggungmu seperti punggung ibuku, oleh suaminya Aus bin shamit. Lalu ia mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW, kemudian Allah menurunkan wahyu berkenaan dengan peristiwa ini.

Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak). Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih." (al-Mujadilah: 14)





C. Hak Wanita Ikut Serta Dalam Politik dan Hankam



Keikutsertaan wanita didalam kegiatan masyarakat Islam tidak hanya berkisar pada hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan akan tetapi juga hak untuk melakukan bela Negara bahkan hal ini bukan saja menjadi hak akan tetapi menjadi tanggungjawab wanita dalam menjalankan tugasnya dalam beramar ma’ruf nahi munkar yang tidak hanya menjadi beban kaum laki-laki akan tetapi menjadi beban yang sama bagi wanita, bersama mereka bahu-mambahu dalam menjalankan amanah ini.

"Dan orang-orangyang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (at-Taubah: 71)



Didalam masyarakat Islam ketika laki-laki dan wanita bersama-sama ikut serta didalam mengerahkan seluruh energinya guna membangun masyarakat, tidak jarang mereka berbeda pendapat. Proses dialog antara laki-laki dan wanita yang seringkali juga mempunyai perbedaan pendapat adalah suatu dinamisator yang tercermin dari budaya egaliter dan equality yang ada pada masarakat islam itu sendiri hinggamelahirkan katalisator yang mempercepat proses pematangan didalam masyarakat islam.



Dalam kitab Fathul Bari disebutkan bahwa Said bin Manshur meriwayatkan melalui jalur Abdullah bin Abdullah bin Umar bahwa Aisyah pernah mengatakan tidak mengapa jika dia menyentuh wewangian sewaktu mau melakukan ihram. Said berkata: "Lalu aku panggil seorang lelaki. Ketika itu aku sedang duduk di samping Ibnu Umar. Lelaki itu aku utus kepada Aisyah, padahal aku sudah tahu ucapan Aisyah. Cuma saja aku ingin hal itu juga didengar oleh bapakku. Lantas utusanku datang. Dia berkata: 'Aisyah mengatakan tidak mengapa memakai wewangian sewaktu mau berihram. Aku akan buang pendapatmu.' Said berkata bahwa Ibnu Umar terdiam mendengarkan ucapan laki-laki itu. Begitu pula halnya Salim bin Abdullah bin Umar. Dia menentang bapak dan kakeknya dalam masalah ini karena hadits Aisyah. Ibnu Uyainah berkata bahwa Umar bin Dinar menceritakan Salim kepada kami bahwa dia nmenyebutkan perkataan Umar mengenai wewangian. Kemudian dia berkata: 'Aisyah berkata (lantas dia menyebutkan hadits tadi).' Salim berkata: 'Sunnah Rasulullah saw. lebih berhak untuk diikuti.'"



Aisyah berkata bahwa Ziyad bin Abi Sufyan menulis sepucuk surat kepada Aisyah r.a. (yang isinya) bahwa Abdullah bin Abbas berkata: "Barangsiapa yang membawa hewan sembelihan maka haram atasnya apa yang diharamkan atas orang yang melaksanakan haji hingga dia mengurbankan/menyembelih hewannya tersebut." Lalu Aisyah berkata: "Tidak seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas. Aku pernah memintal kalung hewan sembelihan Rasulullah saw. dengan tanganku. Kemudian Rasulullah saw. sendiri yang mengalungi hewannya dengan tangannya. Kemudian beliau mengirimkannya bersama bapakku. Tidak pernah diharamkan atas Rasulullah saw. sesuatu yang dihalalkan Allah hingga beliau menyembelih hewan sembelihannya." (HR Bukhari)



Dari Muslim al-Qurri, dia berkata: "Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas r.a. tentang haji tamattu. Ternyata dia memperbolehkannya. Sementara Ibnuz Zubair pernah melarangnya. Ibnu Abbas berkata: 'Ini, ibunya Ibnuz Zubair sendiri yang bercerita bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. memperbolehkannya. Karena itu, temuilah ibu Ibnuz Zubair dan tanyakanlah kepadanya masalah ini.' Lalu aku pergi menemui ibu Ibnu Zubair. Ternyata dia adalah seorang wanita yang berbadan gemuk dan matanya buta. Ibu Ibnuz Zubair mengatakan bahwa Rasulullah saw. memang membolehkannya." (HR Muslim)



Bersama kaum lelaki mereka juga ikut pergi kemedan jihad.



Ruba'i binti Mu'awwidz berkata: "Kami pernah ikut berperang bersama Rasulullah saw. Kami bertugas memberi minum pasukan dan melayani mereka serta memulangkan orang-orang yang terbunuh dan terluka ke Madinah." (HR Bukhari)



Ummu Athiyyah al-Anshariyyah berkata: "Aku ikut berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali peperangan. Aku selalu ditempatkan di bagian belakang pasukan. Akulah yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati yang luka-luka, dan membantu yang sakit." (HR Muslim)

Kaum wanita juga diberikan peran serta untuk berperan dalam memilih pemimpin mereka.

Ibnu Umar berkata: "Aku pergi menemui Hafshah. Dia berkata kepadaku: 'Apakah kamu sudah tahu bahwa bapakmu tidak menunjuk seseorang untuk menjadi khalifah?'Aku jawab: 'Memang, dan rasanya dia tidak mungkin melakukan hal itu.' Hafshah berkata: 'Tetapi dia harus melakukannya.' Ibnu Umar berkata: 'Lalu aku bersumpah bahwa aku akan membicarakan hal itu kepada bapakku ...'" (HR Muslim)



Hadits diatas menceritakan tentang bagaimana Abdulah bin Umar yang meminta pendapat mengenai pergantian kepemimpinan politik pada era khulafa rasyidin kepada Hafsah saudara wanitanya yang juga merupakan istri Rasulullah SAW, hadits ini juga membantah bahwa wanita tidak berhak bersuara mengenai masalah kepemimpinan dan politik yang ada pada masyarakat Islam.



Disamping menentukan pemimpin, wanita juga mempunyai hak bersuara apabila pemimpin tersebut bertindak zalim serta melanggar hak-hak masyarakat, dengan cara teguran yang ringan bahkan peringatan yang keras.



Zaid bin Aslam mengatakan bahwa sesungguhnya Abdul Malik bin Marwan mengirim beberapa peralatan rumah tangga kepada Ummu Darda. Pada suatu malam, Abdul Malik terbangun, lalu dia memanggil pelayannya. Karena pelayan itu terlambat menyahut panggilannya, Abdul Malik memaki-makinya. Pada pagi besoknya, Ummu Darda berkata: "Aku dengar semalam kamu mengutuki pelayanmu ketika kamu memanggilnya. Aku pernah mendengar Abu Darda mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata: 'Orang-orang yang biasa mengutuk tidak bisa mendapat syafaat dan tidak bisa menjadi saksi pada hari kiamat.'" (HR Muslim)



Abu Naufal berkata: "... setelah terbunuhnya Abdullah bin Zubair, al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi pergi menemui Asma binti Abu Bakar, lalu berkata: 'Bagaimana pendapatmu mengenai apa yang telah aku lakukan terhadap musuh Allah itu?' Asma berkata: 'Aku berpendapat bahwa kamu telah merusak dunianya, sementara dia telah merusak akhiratmu ... dan bahwasanya Rasulullah saw. pernah menceritakan kepada kami bahwa di antara kaum Tsaqif itu ada seorang pembohong dan seorang perusak (tirani). Pembohong itu sudah kita lihat, sedangkan perusak (tirani), aku kira kamulah orangnya.' Abu Naufal berkata: 'Mendengar itu, al-Hajjaj berdiri meninggalkan Asma tanpa melanjutkan lagi dialognya.'" (HR Muslim)





Hak Mendapat Pekerjaan yang Layak



Wanita disamping mempunyai hak atas harta suami dia juga mempunyai hak untuk mencari nafkah bagi dirinya sendiri. Bahkan ia menjadi sedekah apabila suaminya tidak dapat memperoleh penghasilan, dan ia memberi nafkah bagi suaminya.



Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud, berkata: "Pada suatu waktu aku berada di masjid, lalu aku melihat Nabi saw. Beliau bersabda: 'Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita) meskipun dengan perhiasan kalian!' Sedangkan Zainab sendirilah yang memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia pelihara. Zainab berkata: 'Lalu aku pergi menemui Nabi saw. Aku temukan seorang wanita Anshar berada di dekat pintu masuk rumah Nabi saw. dan keperluarmya sama dengan keperluanku. Lalu lewat Bilal dekat kami, dan kami berkata kepadanya: "(Hai Bilal), tanyakanlah pada Nabi saw., apakah sah bila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak-anak yatim yang aku pelihara?" Bilal pun masuk dan menyampaikan pertanyaan aku itu kepada Nabi saw. Beliau menjawab: 'Ya, sah, dan baginya dua pahala: pahala kerabat dan pahala bersedekah.'" (HR Bukhari dan Musliml)



Aisyah r.a. berkata: "... ternyata yang terpanjang tangannya di antara kami adalah Zainab sebab dia sudah biasa berusaha dengan tangannya sendiri dan bersedekah." (HR Muslim)



Hal yang harus menjadi catatan adalah pekerjaan yang dilakukan tidak mencerabut dirinya dari tanggungjawab dia sebagai bagian dari anggota keluarga yang juga mempunyai kewajiban yang harus dia tunaikan.



Dari Ibnu Umar, dikatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "... dan wanita/istri adalah pemimpin atas penghuni rumah suaminya dan anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka." (HR Bukhari dan Muslim)







Wallahu a'lam Bishowab

1 Comment:

  1. Zahid Hamidi said...
    Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
    Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...






Post a Comment



Newer Post Older Post Home